
Menapaki Jejak Zero Emission bersama ERIA
SEMINAR DAN PRESENTASI
Indonesia ke Mana? Menelaah Transisi Energi & Mobilitas Hijau dari Kacamata AZEC
Jakarta, 7 Agustus 2025 – Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dan tim Apa Jadinya Indonesia, berkesempatan melakukan kunjungan ke ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia), sebuah lembaga riset internasional yang membantu pemerintah ASEAN dan negara-negara Asia Timur dalam menyusun kebijakan pembangunan berkelanjutan. Kunjungan ini membuka wawasan baru tentang bagaimana Indonesia bisa menapaki jalannya menuju net-zero emission, khususnya di sektor transportasi.
Menapaki Jejak Zero Emission bersama ERIA
ERIA saat ini menjadi tuan rumah bagi Asia Zero Emission Center (AZEC), sebuah kerangka kerja sama antarnegara di Asia yang bertujuan mencapai tiga hal sekaligus: menekan emisi karbon, menjaga pertumbuhan ekonomi, dan menjamin keamanan energi. AZEC menekankan prinsip “One Goal, Various Pathways” yang artinya setiap negara bisa menempuh jalur berbeda menuju dekarbonisasi sesuai dengan kondisi geografis, sosial, dan ekonominya.
Dalam diskusi, DTKJ dan Apamendapatkan gambaran bagaimana roadmap dekarbonisasi disusun: mulai dari perencanaan sistem energi, pilihan teknologi yang efisien, hingga desain kebijakan untuk mendorong energi bersih. Sektor transportasi mendapat sorotan khusus, mengingat perannya yang sangat besar dalam menyumbang emisi perkotaan.
Salah satu temuan menarik dari ERIA adalah kajian tentang dampak kendaraan listrik (EV) di ASEAN. Studi tersebut menunjukkan bahwa manfaat EV akan signifikan hanya jika sistem kelistrikan juga sudah bertransformasi ke arah energi terbarukan. Tanpa dekarbonisasi energi, peralihan massal ke EV tidak akan banyak mengurangi emisi secara keseluruhan.
Bagi Indonesia, ini menjadi pesan penting: transisi transportasi tidak bisa berjalan sendiri, tapi harus seiring dengan transisi energi. Dengan potensi energi surya, biofuel, hidrogen, hingga cadangan nikel yang besar, Indonesia punya modal kuat untuk mendorong transportasi rendah emisi sekaligus memperkuat industri dalam negeri.
Kunjungan ini relevan dengan agenda besar Jakarta menuju transportasi yang lebih bersih, terintegrasi, dan inklusif. Jika prinsip AZEC diterapkan, kita bisa membayangkan:
Transportasi Jakarta yang lebih ramah lingkungan, dengan armada bus listrik dan MRT yang ditenagai energi bersih.
Industri otomotif nasional yang bertransformasi, tidak hanya bergantung pada mobil konvensional, tapi juga melahirkan kendaraan listrik buatan lokal dengan dukungan rantai pasok berkelanjutan.
Kualitas udara perkotaan yang lebih baik, sehingga kesehatan masyarakat meningkat dan biaya sosial akibat polusi berkurang.


Belajar dari Asia Zero Emission Community (AZEC)
Kendaraan Listrik: Penting, tapi Harus Didukung Energi Bersih
Tantangan Industri Otomotif Indonesia
Namun, ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Indonesia saat ini sudah menjadi basis produksi kendaraan terbesar di Asia Tenggara, dengan puluhan pabrik otomotif yang berfokus pada mobil konvensional berbahan bakar fosil. Rantai pasok dan industri pendukungnya, mulai dari pabrik sparepart, bengkel, dealer, hingga jaringan distribusi BBM, sudah terlanjur masif dan mapan.
Peralihan ke kendaraan listrik berarti mengguncang ekosistem besar ini. Para montir dan mekanik yang selama puluhan tahun terampil mengutak-atik mesin berbahan bakar bensin dan diesel, akan menghadapi tantangan besar. Mesin kendaraan listrik jauh lebih sederhana: tidak ada oli mesin, tidak ada knalpot, dan jauh lebih sedikit komponen yang perlu perawatan rutin. Artinya, keterampilan lama banyak yang harus diadaptasi atau bahkan ditinggalkan.
Jika transisi dilakukan terlalu cepat tanpa strategi, jutaan tenaga kerja di industri otomotif berisiko kehilangan relevansi. Pabrikan pun menghadapi dilema: di satu sisi didorong untuk memproduksi EV, di sisi lain mereka harus tetap menjaga pasar mobil konvensional agar rantai pekerja dan konsumen tidak runtuh mendadak.
Itulah sebabnya, peralihan ke kendaraan listrik di Indonesia tidak bisa berlangsung secara instan. Diperlukan investasi besar, program reskilling untuk mekanik dan tenaga kerja, serta kebijakan konsisten yang memberi kepastian jangka panjang. Tanpa itu, produsen akan cenderung tetap memproduksi kendaraan berbahan bakar fosil karena pasar, infrastruktur, dan ekosistem tenaga kerja masih dominan di jalur lama.
Apa Jadinya Indonesia?
Bayangkan sebuah Indonesia yang tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pemain utama dalam industri transportasi hijau dunia. Bayangkan Jakarta yang bebas polusi, sistem transportasi publik yang handal, dan energi yang bersumber dari kekuatan alam sendiri. Tantangan industri otomotif memang nyata, tetapi kunjungan ke ERIA memberi pesan jelas: transisi menuju zero emission bukan hanya mimpi, melainkan jalan yang harus kita pilih jika ingin masa depan yang lebih sehat, tangguh, dan berkelanjutan.

